Masa
Orde Baru
Orde baru berhendak ingin melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde
lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih
diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau
dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit,
memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi
dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto
tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana
menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi.
Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti
dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang
kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto
melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam
pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan
kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi
politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan
sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan
kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya
tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh
aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai
legimitator tindakan yang menyimpang. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru
diarahkan menjadi ideologi yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu
loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak
demokrasi dikekang.
c. Pada Masa Reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan
reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus
dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi,
sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite politik cenderung hanya
memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak
mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik. Berbagai
gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat
memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang
tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk
masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah
perubahan.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh
kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil
sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun
perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring
dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar
menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini
diperparah dengan naiknya
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa
Indonesia masih memiliki suatu keyakinan bahwa krisis multidimensional itu
dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah
yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan yang dapat menjadi
landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya, seperti: (1)
adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia;
(2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan
politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Yang
lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi
yaitu pada susunan DPR dan MPR,yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui
pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a) UU Tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR,
dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
b) UU Tentang partai polotik dan Golongan Karya
(UU No. 3/1975, jo.UU. No. 3/1985).
c) UU Tentang pemilihan Umum (UU no. 16/1969 jis
UU No. 4/1975,UU No.2/1980, dan UU No. 1/1985).
Reformasi
terhadap UU politik tersebut diatas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim
politik yang demokratis sesuai dengan kehendak pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa
kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis
permusyawaratan rakyat.
No comments:
Post a Comment