Saturday, December 8, 2018

CONTOH promosi sekolah lewat blogspot


PROMOSI SEKOLAH

MIN BANI ADAM SALATIGA SIAP MENERIMA SISWA/I BARU TAHUN AJARAN 2019/2020




MIN BANI ADAM Salatiga adalah lembaga pendidikan yang selalu memperhatikan iman dan akhlak. Dan juga menanamkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat dengan tujuan melahirkan siswa yang cerdas, kreatif, dan inovatif, menciptakan lulusan yang berwibawa, bertanggung jawab di tingkat pendidikan, meningkatkan keterbukaan siswa di setiap sekolah yang aktif, meningkatkan kualitas sebagai model sekolah. mengembangkan model sekolah yang sehat.



Sekolah kami sudah terakreditasi A dan sekolah kami menerapkan kurikulum 2013 revisi terbaru.
1.      Our Vision
Making schools that are competent, independent and Islamic in character.
2.      Our Mission
Forming learners who are knowledgeable, broad, creative, critical, disciplined, responsible in a healthy, conducive and positive school climate.
3.      Our Courses
Our school provides extracurricular activities where these activities help make students active in the classroom as well.
a.       Pengembangan motorik siswa
1)      Renang
2)      Tenis meja
3)      Bola volly mini
4)      Bola basket
5)      Badminton
b.      Pengembangan estetik siswa.
1)      Seni lukis.
2)      Bina musika / vokalia
3)      Seni tari
c.       Pengembangan kemampuan linguistik siswa
1)      Bahasa inggris
d.      Pengembangan kemampuan personal, intrapersonal dan human relationship.
1)      Guru Bimbingan Konseling.
2)      Budi pekerti
3)      Dokter kecil
e.       Pengembangan kemampuan leadership dan organisasi
1)      Pramuka
f.        Pengembangan nilai religius siswa
1)      Iqro’ / qiro’ati
g.      Pengembangan Kommunity Base Education (CBE)
4.      Facilities
a.       Classroom using AC
b.      Computer lap room using AC
c.       Library room using AC
d.      Learning media using AC
e.       Safe and comfortable school building
f.        School canteen.





5.      Contact us
a.       Telp     : (0376) 25538
b.      Alamat : Jl. Lingkar selatan salatiga km 13, kota salatiga


Pemikiran Islam AL-FARABI


Selama ini, sebagian besar diantara muslim yang awam pengetahuannya tentang al-Farabi mungkin mengenal al-Farabi hanya sebatas seorang filosof muslim saja, yang banyak menuliskan pemikirannya seputar aspek filosofis, tanpa pernah menfokuskan diri pada aspek lainnya, terutama dalam konteks ini mengenai pendidikan Islam. Pemahaman yang demikian nampaknya tidaklah benar. Dalam beberapa karyanya, ternyata al-Farabi juga mencurahkan buah pikirannya seputar pendidikan Islam.
Sejarah kehidupan al-Farabi menunjukkan bahwa, dalam melahirkan beberapa karya besarnya, al-Farabi terinspirasi dari tulisan sejumlah filsuf yunani, seperti Plato. Salah satu karya besar Plato yang dipelajari dengan serius oleh al-Farabi adalah bukunya yang berjudul Republic. Buah pikiran Plato yang ada dalam buku tersebut dirangkum oleh al-Farabi, kemudian ia melahirkan pemikirannya sendiri mengenai beberapa item terkait pendidikan Islam .
Pemikiran filosofis pendidikan Islam al-Farabi secara umum tercantum dalam karyanya yang berjudul Risalah fi al-‘Aql. Buku ini menguraikan secara panjang lebar mengenai konsep akal (intelijensia) dalam perspektif al-Farabi. Menurutnya, akal itu dapat digolongkan ke dalam 4 dimensi atau bentuk, yaitu :
  1. Akal potensial ( potential intellect/ ‘aql bi al-quwwa )
  2. Akal aktual ( actual intellect/ ‘aql bi al-fi’l)
  3. Akal capaian ( acquired intellect/ ‘aql mustafad)
  4. Akal aktif (active intellect/ ‘aql al-fa’al)
1)      Tujuan Pendidikan
Mengenai tujuan pendidikan, al-Farabi memandang pendidikan sebagai salah satu elemen atau fenomena yang penting dalam kehidupan sosial. Ia memandang bahwa pendidikan itu mesti diberikan sedini mungkin dalam rangka menyiapkan anggota masyarakat yang memperoleh keberuntungan (a beneficial member of society). Seluruh aktifitas pendidikan harus diarahkan kepada usaha transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan praktis yang dilaksanakan dalam periode dan budaya tertentu.
Lebih lanjut, al-Farabi menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membimbing tiap-tiap individu ke arah kesempurnaan hidup, karena manusia memang diciptakan untuk tujuan ini. Keberadaan manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesempurnaan hidup tertinggi. Menurut Farabi, manusia sempurna (al- insan al -kamil) adalah orang yang memiliki teoritis kebajikan, pengetahuan intelektual dan moral praktis, yang kemudian diterapkan secara sempurna dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dalam pandangan al-Farabi, pendidikan merupakan kombinasi dari kegiatan belajar dengan tindakan praktis, pengetahuan yang didapatkan harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Kesempuranaan manusia tulis al-Farabi dalam Mabadi’ ‘Ara Ahl-al-Madinah al-Fadhilah adalah sesuai dengan watak alamiah manusia itu sendiri, tidak akan tercapai apabila tidak adanya interaksi sosial dengan manusia lain. Interaksi ataupun kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam suatu komunitas (ummah), dan kerjasama antar penduduk kota (madinah).
2)      Konsep Tentang Nilai
Menurut al-Farabi, pembinaan dan tegaknya moralitas dalam masyarakat merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Dalam pandangannya, kehidupan masyarakat akan tenang dan teratur apabila terciptanya keseimbangan moral dalam masyarakat tersebut. Untuk mendapatkan hal yang demikian, dalam pandangannya hanya dapat ditempuh dengan adanya pendidikan. Apabila nilai-nilai moral hilang dari masyarakat, maka kehidupan masyarakat tersebut akan rusak.
3)      Metodologi Pengajaran
Terkait dengan metodologi pembelajaran, al-Farabi menjelaskan bahwa masyarakat itu secara umum dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu masyarakat elit dan masyarakat umum. Al-Farabi menjelaskan bahwa pendidikan diperlukan untuk semua warga negara, dengan tidak adanya pedidikan tidak seorangpun akan mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Pendidikan harus diberikan kepada semua masyarakat, namun metode pengajaran harus disesuaikan menurut kelompok tertentu.

Monday, November 5, 2018

MASALAH YANG MUNCUL DALAM MENGIMPLEMENTASI DEMOKRASI PANCASILA (ERA REFORMASI) DI INDONESIA


Dalam proses implementasinya pancasila mengahadapi berbagai masalah yang membuat pancasila menjadi ideologi yang kurang di percaya oelah sebagaian masyarakat di Indonesia di antaranya yaitu masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasionalmaupun internasional. Menurut konsiderans UU Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan hak asasi manusiaadalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa danmerupakan anugerah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahdan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping itu menurut UU No.39 ttahun 1999 tersebut juga menentukan Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak Asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Selain itu pula kurangnya implementasi pemahaman tentanag pancasila dalam kehidupan masyarakat saat ini sehingga banyak sekali masalah sosial yang di hadapai oleh bangsa kita ini dan masalah-masalah ini membuat bangsa lain di dunia kurang percaya dengan Semboyan kebanggaan kta sebagaiu bangsa Indonesia yaitu “BHINEKA TUNGGAL IKA” oleh karena demikian reputasi bangsa indonesia di mata dunia semakimn menurun setiap tahunnya, masalah sosiallah yang telah merusak repuatasi indonesia di mata dunia.
Melemahnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat. Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila ( sikap/prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
 Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.

PERANAN PANCASILA DALAM BERBAGAI BIDANG



a. Implementasi Pancasila dalam Bidang Politik
Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologis manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah sebagai subjek Negara, oleh karena itu kehidupan politik harus benar-benar merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia. Pengembangan politik Negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila pancasila dam esensinya, sehingga praktek-praktek politik yang menghalalkan segala cara harus segera diakhiri.

b. Implementasi Pancasila dalam bidang Ekonomi
Di dalam dunia ilmu ekonomi terdapat istilah yang kuat yang menang, sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas dan jarang mementingkan moralitas kemanusiaan. Hal ini tidak sesuai dengan Pancasila yang lebih tertuju kepada ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistic yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas (Mubyarto,1999). Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.

c. Implementasi Pancasila dalam bidang Sosial dan Budaya
Dalam pembangunan dan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi di segala bidang dewasa ini. Sebagai anti-klimaks proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi nilai social budaya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jikalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk massa yang cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya yang muaranya adalah masalah politik.
Oleh karena itu dalam pengembangan social budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika pancasila pada hakikatnya bersifat humanistic, artinya nilai-nilai pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya.

d. Implementasi Pancasila dalam bidang Pertahanan dan Keamanan
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-hak warga negara maka diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban warga maupun dalam rangka melindungi hak-hak warganya. Oleh karena pancasila sebagai dasar Negara dan mendasarkan diri pada hakikat nilai kemanusiaan monopluralis maka pertahanan dan keamanan negara harus dikembalikan pada tercapainya harkat dan martabat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara.

IMPLEMENTASI PANCASILA PADA MASA ORDE BARU


Masa Orde Baru
Orde baru berhendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideologi yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
c. Pada Masa Reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan naiknya
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi yaitu pada susunan DPR dan MPR,yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a)    UU Tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
b)   UU Tentang partai polotik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo.UU. No. 3/1985).
c)    UU Tentang pemilihan Umum (UU no. 16/1969 jis UU No. 4/1975,UU No.2/1980, dan UU No. 1/1985).

Reformasi terhadap UU politik tersebut diatas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat.

IMPLEMENTASI PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA


a. Masa Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode Implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan peride 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia.

Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan.

PERANAN PANCASILA PADA SEJARAH INDONESIA



Pancasila diimplementasikan hanya secara normatif dan teoritis serta belum benar-benar diamalkan dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dalam sistem kenegaraan menjadi multi tafsir dan cenderung untuk kepentingan penguasa. Oleh karena itu ketika orde baru jatuh, maka Pancasila juga mulai ditinggalkan.
Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia. Kini gelombang demokratisasi, Hak Asasi Manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia.
 Hal demikian bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global menggeser kesetiaan nasional. Internasionalisme menggeser nasionalisme. Kini bangsa Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang sangat istimewa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Terbentuknya negara yang dinamakan Indonesia tahun 1945 oleh karena kesadaran dan kesepakatan bangsa untuk mendasarkan diri kepada Pancasila. Dengan Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Meraoke tetap akan utuh dan apa yang dinamakan negara dan bangsa Indonesia akan tetap ada.
Untuk kepentingan hal tersebut, maka dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, bangsa ini dapat mengembangkan keharmonisan dan kemandiriannya demi mencapai kemajuan bangsa, antara lain perlu implementasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA


Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idil bangsa Indonesia yang menjadi pedoman untuk mencapai cita-cita bangsa, dewasa ini dalam zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi Negara dalam format politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap pancasila.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi poliltik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Dengan kata lain Pancasila tidak lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia.
Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus bukan dalam pengertian kebahasaan substansialnya, tetapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya bersal dari faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia.

CONTOH "KATA PENGANTAR" DALAM PEMBUATAN MAKALAH


Puji syukur kita ucapkan dan sampaikan pada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya sehingga saya biSA menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “TOPIC PEMBAHASAN ANDA” sehingga kita bisa memahami bagaimana peran pancasila bagi bangsa Indonesia dan makalah ini merupakan tugas akhir dalam proses pembelajaran MATA KULIAH ANDA,
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman akan kesadaran pentingnya nasionalisme Indonesia dan sekaligus juga dapat membangkitkan semangat nasionalisme yang semakin luntur sehingga sekali lagi diharapkan dengan makalah ini dapat menjadikan motivasi dengan semangat kebangsaan nasionalisme Indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu , saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini.




Batam, 26 January 2015
                                                                                                               Penyusun

                                                                                                               NAMA ANDA

Wednesday, October 24, 2018

5 PILIHAN SEPATU UNTUK PRIA


5 PILIHAN SEPATU UNTUK PRIA


Sepatu merupakan bagian penting bagi kaum pria untuk menarik perhatian orang lain. Terus sepatu apasih yang cocok dengan situasi yang ada di depan kita, dan perlu anda ketahui jikalau anda pake sepatu formal waktu ngeGyim itu gak masuk akal atau hal yang sangat bodoh banyak sekali saya temui pria ganteng yang ngGyim pake formal itu sangatlah kok. Begitupun juga orang yang memakai sepatu sports saat acara kondangan, ke acara kawinan, ke acara formal itu sangat gak masuk akal. Beda situasi beda juga sepatu. Bagaimana sekarang masihkah bingung untuk beli sepatu. Okey hari ini saya akan mengeShare/merekomendasikan 5 sepatu untuk pria. Bagi siapapun yang memakainya akan terlihat ganteng dan pas.

1.      Sepatu Chelsea boots


2.      Sepatu sneakers Adidas


3.      Sepatu loafers penny


4.      Sepatu oxfords


5.      Sepatu sports 


Monday, October 22, 2018

PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN OBAT DI DUNIA ATLET OLAHRAGA


Should performance enhancing drugs (such as steroids)
 be accepted in sports

Proponents of accepting performance enhancing drugs (PEDs) in sports argue that their harmful health effects have been overstated, that health risks are an athlete’s decision to make, that using drugs is part of the evolution of sports much like improved training techniques and new technologies, and that efforts to keep athletes from using PEDs are overzealous, unproductive, unfairly administered, and bound to fail. 
Opponents argue that PEDs are harmful and potentially fatal, and that athletes who use them are cheaters who gain an unfair advantage, violate the spirit of competition, and send the wrong message to children. They say PED users unfairly diminish the historic achievements of clean athletes, and that efforts to stop PED use in sports should remain strong.
 

perception that it is impossible to fully enforce anti doping laws, some commentators argue that these laws be relaxed to create an “open” but arguably more “even” playing field. However, sport without anti doping laws would disadvantage further those athletes who wanted to compete at an elite level without risking their health. The recently formed World Anti-Doping Agency (WADA) is responsible for developing and implementing uniform anti doping standards worldwide (both with respect to lists of banned drugs and penalties for misusing them). The World Anti-Doping Code (“WADA Code”) was adopted after consultation with governments, sporting bodies, national anti doping agencies and other relevant parties in 2003 by all Olympic Committees, many nations and many elite sports associations. A substance can be included on the World Anti-Doping Code Prohibited List if it meets two of the three major criteria defined by WADA, or if it is a potential masking agent. The three criteria are that the substance is performance-enhancing, that there are health risks to the athlete with use of the substance and that use of the substance violates the spirit of sport. The need for two out of the three criteria means that the WADA Code can ban “social drugs” such as marijuana (even though they are not performance-enhancing) but can permit the use of a drug such as caffeine (even though low levels of this drugs are performance enhancing). Anti doping laws do not just relate to positive tests for prohibited substances. Refusing to submit to testing procedures, tampering with samples (before or after they are submitted), possession and/or trafficking illegal substances, and refusal to supply accurate regular whereabouts information to authorities (to allow for regular unannounced out of competition testing) can lead to doping infringements. Therefore, doctors who may potentially prescribe or otherwise assist athletes in taking banned drugs may also be subject to doping sanctions and suspended from involvement in elite sport. Exploring the role of performance enhancing drugs (PED) in sport gives performance psychology an opportunity to look into its „dark side'. The psychology of the use of PED in sport moves away from traditional performance psychology aimed at helping people fulfill their potential, top reventing a performance enhancing behavior. What motivates an athlete to use   the high stakes of being caught? The obvious answer is „to win', which more likely reflects factors like economic incentives (prize and sponsorship money) and social pressures (national gold medal expectations). However, winning is unlikely to be a complete explanation.

Anshel (1991) reviewed a range of factors identified through personal interactions with coaches and athletes to provide advice on intervening in PED behavior based on cognitive (e.g., show concern or discuss ethics) and behavioral (e.g., assist with boredom or goal setting) perspectives. While a useful foundation to build testable grounded theory, the anecdotal nature of the research gives little insight into the underlying psychology. To this author's knowledge, a grounded theory based on Anshel's or other work founded on interactions with coaches and athletes is yet to be formulated.

Donovan, Egger, Kapernick and Mendoza (2002) used principles from social cognition to conceptualize a model for an athlete's decision to use PED. The model explores the effect appraisals of threat, benefit, morality and legitimacy have on attitudes and intentions and subsequent compliance with the World Anti-Doping Code. Importantly, other influences such as reference groups (e.g., coaches), athlete personality, and the affordability and availability of PED are explicitly included in the model. Research on the validity of this elegant model is part of an Australian Research Council Grant that is yet to be reported.

Strelan and Boeckman's (2003) model is based on an application of deterrence theory, explaining athletes' PED use in terms of criminal behavior. The model posits an athlete's decision to use PED as the consequence of an analysis of deterrents (e.g., sanctions) relative to benefits (e.g., sponsorship) moderated by situational factors (e.g., type of drug or perceived prevalence). The only empirical test of this theory uses AFL players (Strelan & Boeckman, 2006) and shows the model has merit as an explanation of the psychology underlying an athlete's decision making on PED use.

Developing a psychology of PED use is an opportunity for basic and applied research to work together towards rigorous grounded theory that explains something of human behavior. Australian research into the psychology of PED use is an excellent starting point. The experience of practicing performance and sports psychologists could greatly inform the development of a psychology of PED use among athletes. The key is to tap into that experience and report it so we can learn more about what people are willing to do excel. However, there are two key issues those working towards a psychology of PED use need to keep in mind.

One of the biggest barriers to PED research is the absence of an epidemiology that defines a reliable dependent variable. Put simply, there is no reliable evidence about the prevalence of PED use among athletes of any level (Kayser, Mauron, & Miah, 2007). Of significant concern for psychology is the absence of a psychometrically valid self-report mechanism (Yesalis, Kopstein, & Bahrke, 2001). Perhaps psychology can help address this issue with some rigorous practitioner-based research, finding out prevalence estimates from those helping athletes reach peak performance.
The second issue is that elite athletes are only one group of people to whom PED use models apply. The psychological work outlined above focuses on elite (Olympic or professional) athletes' PED use in high stakes competitions. The psychology of PED use at the elite level may be very different to the psychology at the nonprofessional level. A psychology of nonelite PED use could provide insight into the aetiology of elite athlete PED use. The Victorian Government (2006) has made some progress on this issue with the release of a discussion paper on non-elite athlete PED use.  
While models for performance enhancement in elite athletes might be limited to sporting contexts, a model explaining performance enhancement behaviors‟ among „weekend warriors' might have more relevance for more common contexts (Mazanov, in press). For example, such a model may explain why some people pursue cosmetic surgery enhancements, why some company directors engage in illegal behavior to boost share performance, or why some students use cognition enhancers. Conversely, research in these fields may help shed light on why some athletes use PED.

PRO
CONTRA
Maeve Juday, columnist for the Swarthmore College newspaper The Phoenix, stated the following in her Feb. 15, 2018 article titled, "To Dope, or Not to Dope?," available at swarthmorephoenix.com:

"If we really want to address the issue of illegal steroid use in professional sports, I propose that it's time to head in the opposite direction: legalizing performance enhancing drugs (PEDs)...

If steroid use for professional athletes is permitted, they will be able to legally obtain physical enhancement drugs which have been regulated, and are therefore possibly safe to use...

Now, let's not forget that the purpose of professional sports is entertainment, witnessing the seemingly magical feats of human athleticism and physical ability. An increase in steroid use would only serve to increase the talent and intensity of the game and bring it to a higher level...The essence of sports is that winning touchdown, that sprinting finish, and that fence-clearing homerun. Steroid legalization for professional athletes won't jeopardize that; it will only enhance it."

Feb. 15, 2018 - Maeve Juday
Thomas H. Murray, PhD, President Emeritus of the Hastings Center, wrote the following in his Jan. 29, 2018 article titled "Why Don't We Just... Allow Athletes to Dope?," available at bigissuenorth.com:

"Some people suggest that since athletes are going to dope anyway why not just let them? The collateral damage, though, to both public health and the meaning of sport, would likely be severe...

Not everyone will resort to doping but, if we remove both legal controls and the stigma attached to it, many will. The likely result is a public health crisis, with particularly dire consequences for young people...

When a drug exists that can significantly enhance performance and you believe that your competitors are using it, you have three unhappy options. You can hold fast to your principles knowing you may lose to an inferior competitor without your scruples; you can stop competing at this level; or you can dope like the others. The point of anti-doping is to create a fourth option: to compete clean with reasonable confidence that your fellow athletes are doing the same."


Jan. 29, 2018 - Thomas H. Murray, PhD

Conclusion
Exploring the use of PED by athletes is a fertile field for performance psychology to plough. There is scope to think about performance psychology in a non-traditional way by looking at whether the factors that promote performance enhancing behavior are also those which help prevent certain performance enhancing behaviors. Further, in the absence of well defined models there is an opportunity to bring to light an area where very little of the psychology is understood. Bringing light to the „dark side' of performance psychology may help the sub discipline to explain a little bit more about what drives humans to aspire and excel.  Doping authorities are further ahead than they have ever been, but awareness that doping is prevalent in sport is also greater than it has ever been. With current anti doping policies, authorities greatly decrease the widespread use of dangerous substances in sport. However the difficulties with enforcing prohibitions lead to many areas of controversy. It is planned that subtle ongoing changes will be made to the WADA Code, making it necessary for all medical practitioners who treat athletes to know how to check up-to-date lists of legal drugs and substances.
Physicians involved in professional sport need to fully understand the complexity of performance-enhancing drugs and where we draw the line. To do so, not only must the physiologic and psychotropic properties of each drug be considered, but also the individual characteristics of each sport and, more important, the individual biology of each athlete. A medical system for athletes that ensures a fair and accepted standard for all individuals in a given sport needs to be established. In a world of advancing neuroscience and concomitant psychotropic drug development, the psychiatrist must become an advocate for the appropriate uses of psychoactive medicines. The issues involved are complex and potentially have far reaching cultural effects in how psychotropic medicines are perceived by the public. Unfortunately, the majority of prescriptions given for psychotropic drugs are not given by psychiatrists and probably the world of sport is no exception. If the integrity of the practice of medicine and professional sport are to be maintained, all involved must be more informed and directly involved in the decision making about medication efficacy and appropriateness. To address the issue of where the line is drawn and who draws it, the world of sports is unknowingly calling for physicians who possess expertise in psychopharmacology, psychiatry, and athletics. 

References
Ø  Anshel, M. H. (1991) Causes for drug use in sport: A survey of intercollegiate