Monday, November 5, 2018

IMPLEMENTASI PANCASILA PADA MASA ORDE BARU


Masa Orde Baru
Orde baru berhendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideologi yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
c. Pada Masa Reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan. Para elite politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan naiknya
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi yaitu pada susunan DPR dan MPR,yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a)    UU Tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
b)   UU Tentang partai polotik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo.UU. No. 3/1985).
c)    UU Tentang pemilihan Umum (UU no. 16/1969 jis UU No. 4/1975,UU No.2/1980, dan UU No. 1/1985).

Reformasi terhadap UU politik tersebut diatas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat.

IMPLEMENTASI PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA


a. Masa Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode Implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan peride 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia.

Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan.

PERANAN PANCASILA PADA SEJARAH INDONESIA



Pancasila diimplementasikan hanya secara normatif dan teoritis serta belum benar-benar diamalkan dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dalam sistem kenegaraan menjadi multi tafsir dan cenderung untuk kepentingan penguasa. Oleh karena itu ketika orde baru jatuh, maka Pancasila juga mulai ditinggalkan.
Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia. Kini gelombang demokratisasi, Hak Asasi Manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia.
 Hal demikian bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global menggeser kesetiaan nasional. Internasionalisme menggeser nasionalisme. Kini bangsa Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang sangat istimewa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Terbentuknya negara yang dinamakan Indonesia tahun 1945 oleh karena kesadaran dan kesepakatan bangsa untuk mendasarkan diri kepada Pancasila. Dengan Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Meraoke tetap akan utuh dan apa yang dinamakan negara dan bangsa Indonesia akan tetap ada.
Untuk kepentingan hal tersebut, maka dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, bangsa ini dapat mengembangkan keharmonisan dan kemandiriannya demi mencapai kemajuan bangsa, antara lain perlu implementasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA


Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idil bangsa Indonesia yang menjadi pedoman untuk mencapai cita-cita bangsa, dewasa ini dalam zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi Negara dalam format politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap pancasila.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi poliltik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Dengan kata lain Pancasila tidak lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia.
Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus bukan dalam pengertian kebahasaan substansialnya, tetapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya bersal dari faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia.

CONTOH "KATA PENGANTAR" DALAM PEMBUATAN MAKALAH


Puji syukur kita ucapkan dan sampaikan pada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya sehingga saya biSA menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “TOPIC PEMBAHASAN ANDA” sehingga kita bisa memahami bagaimana peran pancasila bagi bangsa Indonesia dan makalah ini merupakan tugas akhir dalam proses pembelajaran MATA KULIAH ANDA,
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman akan kesadaran pentingnya nasionalisme Indonesia dan sekaligus juga dapat membangkitkan semangat nasionalisme yang semakin luntur sehingga sekali lagi diharapkan dengan makalah ini dapat menjadikan motivasi dengan semangat kebangsaan nasionalisme Indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu , saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini.




Batam, 26 January 2015
                                                                                                               Penyusun

                                                                                                               NAMA ANDA

Wednesday, October 24, 2018

5 PILIHAN SEPATU UNTUK PRIA


5 PILIHAN SEPATU UNTUK PRIA


Sepatu merupakan bagian penting bagi kaum pria untuk menarik perhatian orang lain. Terus sepatu apasih yang cocok dengan situasi yang ada di depan kita, dan perlu anda ketahui jikalau anda pake sepatu formal waktu ngeGyim itu gak masuk akal atau hal yang sangat bodoh banyak sekali saya temui pria ganteng yang ngGyim pake formal itu sangatlah kok. Begitupun juga orang yang memakai sepatu sports saat acara kondangan, ke acara kawinan, ke acara formal itu sangat gak masuk akal. Beda situasi beda juga sepatu. Bagaimana sekarang masihkah bingung untuk beli sepatu. Okey hari ini saya akan mengeShare/merekomendasikan 5 sepatu untuk pria. Bagi siapapun yang memakainya akan terlihat ganteng dan pas.

1.      Sepatu Chelsea boots


2.      Sepatu sneakers Adidas


3.      Sepatu loafers penny


4.      Sepatu oxfords


5.      Sepatu sports 


Monday, October 22, 2018

PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN OBAT DI DUNIA ATLET OLAHRAGA


Should performance enhancing drugs (such as steroids)
 be accepted in sports

Proponents of accepting performance enhancing drugs (PEDs) in sports argue that their harmful health effects have been overstated, that health risks are an athlete’s decision to make, that using drugs is part of the evolution of sports much like improved training techniques and new technologies, and that efforts to keep athletes from using PEDs are overzealous, unproductive, unfairly administered, and bound to fail. 
Opponents argue that PEDs are harmful and potentially fatal, and that athletes who use them are cheaters who gain an unfair advantage, violate the spirit of competition, and send the wrong message to children. They say PED users unfairly diminish the historic achievements of clean athletes, and that efforts to stop PED use in sports should remain strong.
 

perception that it is impossible to fully enforce anti doping laws, some commentators argue that these laws be relaxed to create an “open” but arguably more “even” playing field. However, sport without anti doping laws would disadvantage further those athletes who wanted to compete at an elite level without risking their health. The recently formed World Anti-Doping Agency (WADA) is responsible for developing and implementing uniform anti doping standards worldwide (both with respect to lists of banned drugs and penalties for misusing them). The World Anti-Doping Code (“WADA Code”) was adopted after consultation with governments, sporting bodies, national anti doping agencies and other relevant parties in 2003 by all Olympic Committees, many nations and many elite sports associations. A substance can be included on the World Anti-Doping Code Prohibited List if it meets two of the three major criteria defined by WADA, or if it is a potential masking agent. The three criteria are that the substance is performance-enhancing, that there are health risks to the athlete with use of the substance and that use of the substance violates the spirit of sport. The need for two out of the three criteria means that the WADA Code can ban “social drugs” such as marijuana (even though they are not performance-enhancing) but can permit the use of a drug such as caffeine (even though low levels of this drugs are performance enhancing). Anti doping laws do not just relate to positive tests for prohibited substances. Refusing to submit to testing procedures, tampering with samples (before or after they are submitted), possession and/or trafficking illegal substances, and refusal to supply accurate regular whereabouts information to authorities (to allow for regular unannounced out of competition testing) can lead to doping infringements. Therefore, doctors who may potentially prescribe or otherwise assist athletes in taking banned drugs may also be subject to doping sanctions and suspended from involvement in elite sport. Exploring the role of performance enhancing drugs (PED) in sport gives performance psychology an opportunity to look into its „dark side'. The psychology of the use of PED in sport moves away from traditional performance psychology aimed at helping people fulfill their potential, top reventing a performance enhancing behavior. What motivates an athlete to use   the high stakes of being caught? The obvious answer is „to win', which more likely reflects factors like economic incentives (prize and sponsorship money) and social pressures (national gold medal expectations). However, winning is unlikely to be a complete explanation.

Anshel (1991) reviewed a range of factors identified through personal interactions with coaches and athletes to provide advice on intervening in PED behavior based on cognitive (e.g., show concern or discuss ethics) and behavioral (e.g., assist with boredom or goal setting) perspectives. While a useful foundation to build testable grounded theory, the anecdotal nature of the research gives little insight into the underlying psychology. To this author's knowledge, a grounded theory based on Anshel's or other work founded on interactions with coaches and athletes is yet to be formulated.

Donovan, Egger, Kapernick and Mendoza (2002) used principles from social cognition to conceptualize a model for an athlete's decision to use PED. The model explores the effect appraisals of threat, benefit, morality and legitimacy have on attitudes and intentions and subsequent compliance with the World Anti-Doping Code. Importantly, other influences such as reference groups (e.g., coaches), athlete personality, and the affordability and availability of PED are explicitly included in the model. Research on the validity of this elegant model is part of an Australian Research Council Grant that is yet to be reported.

Strelan and Boeckman's (2003) model is based on an application of deterrence theory, explaining athletes' PED use in terms of criminal behavior. The model posits an athlete's decision to use PED as the consequence of an analysis of deterrents (e.g., sanctions) relative to benefits (e.g., sponsorship) moderated by situational factors (e.g., type of drug or perceived prevalence). The only empirical test of this theory uses AFL players (Strelan & Boeckman, 2006) and shows the model has merit as an explanation of the psychology underlying an athlete's decision making on PED use.

Developing a psychology of PED use is an opportunity for basic and applied research to work together towards rigorous grounded theory that explains something of human behavior. Australian research into the psychology of PED use is an excellent starting point. The experience of practicing performance and sports psychologists could greatly inform the development of a psychology of PED use among athletes. The key is to tap into that experience and report it so we can learn more about what people are willing to do excel. However, there are two key issues those working towards a psychology of PED use need to keep in mind.

One of the biggest barriers to PED research is the absence of an epidemiology that defines a reliable dependent variable. Put simply, there is no reliable evidence about the prevalence of PED use among athletes of any level (Kayser, Mauron, & Miah, 2007). Of significant concern for psychology is the absence of a psychometrically valid self-report mechanism (Yesalis, Kopstein, & Bahrke, 2001). Perhaps psychology can help address this issue with some rigorous practitioner-based research, finding out prevalence estimates from those helping athletes reach peak performance.
The second issue is that elite athletes are only one group of people to whom PED use models apply. The psychological work outlined above focuses on elite (Olympic or professional) athletes' PED use in high stakes competitions. The psychology of PED use at the elite level may be very different to the psychology at the nonprofessional level. A psychology of nonelite PED use could provide insight into the aetiology of elite athlete PED use. The Victorian Government (2006) has made some progress on this issue with the release of a discussion paper on non-elite athlete PED use.  
While models for performance enhancement in elite athletes might be limited to sporting contexts, a model explaining performance enhancement behaviors‟ among „weekend warriors' might have more relevance for more common contexts (Mazanov, in press). For example, such a model may explain why some people pursue cosmetic surgery enhancements, why some company directors engage in illegal behavior to boost share performance, or why some students use cognition enhancers. Conversely, research in these fields may help shed light on why some athletes use PED.

PRO
CONTRA
Maeve Juday, columnist for the Swarthmore College newspaper The Phoenix, stated the following in her Feb. 15, 2018 article titled, "To Dope, or Not to Dope?," available at swarthmorephoenix.com:

"If we really want to address the issue of illegal steroid use in professional sports, I propose that it's time to head in the opposite direction: legalizing performance enhancing drugs (PEDs)...

If steroid use for professional athletes is permitted, they will be able to legally obtain physical enhancement drugs which have been regulated, and are therefore possibly safe to use...

Now, let's not forget that the purpose of professional sports is entertainment, witnessing the seemingly magical feats of human athleticism and physical ability. An increase in steroid use would only serve to increase the talent and intensity of the game and bring it to a higher level...The essence of sports is that winning touchdown, that sprinting finish, and that fence-clearing homerun. Steroid legalization for professional athletes won't jeopardize that; it will only enhance it."

Feb. 15, 2018 - Maeve Juday
Thomas H. Murray, PhD, President Emeritus of the Hastings Center, wrote the following in his Jan. 29, 2018 article titled "Why Don't We Just... Allow Athletes to Dope?," available at bigissuenorth.com:

"Some people suggest that since athletes are going to dope anyway why not just let them? The collateral damage, though, to both public health and the meaning of sport, would likely be severe...

Not everyone will resort to doping but, if we remove both legal controls and the stigma attached to it, many will. The likely result is a public health crisis, with particularly dire consequences for young people...

When a drug exists that can significantly enhance performance and you believe that your competitors are using it, you have three unhappy options. You can hold fast to your principles knowing you may lose to an inferior competitor without your scruples; you can stop competing at this level; or you can dope like the others. The point of anti-doping is to create a fourth option: to compete clean with reasonable confidence that your fellow athletes are doing the same."


Jan. 29, 2018 - Thomas H. Murray, PhD

Conclusion
Exploring the use of PED by athletes is a fertile field for performance psychology to plough. There is scope to think about performance psychology in a non-traditional way by looking at whether the factors that promote performance enhancing behavior are also those which help prevent certain performance enhancing behaviors. Further, in the absence of well defined models there is an opportunity to bring to light an area where very little of the psychology is understood. Bringing light to the „dark side' of performance psychology may help the sub discipline to explain a little bit more about what drives humans to aspire and excel.  Doping authorities are further ahead than they have ever been, but awareness that doping is prevalent in sport is also greater than it has ever been. With current anti doping policies, authorities greatly decrease the widespread use of dangerous substances in sport. However the difficulties with enforcing prohibitions lead to many areas of controversy. It is planned that subtle ongoing changes will be made to the WADA Code, making it necessary for all medical practitioners who treat athletes to know how to check up-to-date lists of legal drugs and substances.
Physicians involved in professional sport need to fully understand the complexity of performance-enhancing drugs and where we draw the line. To do so, not only must the physiologic and psychotropic properties of each drug be considered, but also the individual characteristics of each sport and, more important, the individual biology of each athlete. A medical system for athletes that ensures a fair and accepted standard for all individuals in a given sport needs to be established. In a world of advancing neuroscience and concomitant psychotropic drug development, the psychiatrist must become an advocate for the appropriate uses of psychoactive medicines. The issues involved are complex and potentially have far reaching cultural effects in how psychotropic medicines are perceived by the public. Unfortunately, the majority of prescriptions given for psychotropic drugs are not given by psychiatrists and probably the world of sport is no exception. If the integrity of the practice of medicine and professional sport are to be maintained, all involved must be more informed and directly involved in the decision making about medication efficacy and appropriateness. To address the issue of where the line is drawn and who draws it, the world of sports is unknowingly calling for physicians who possess expertise in psychopharmacology, psychiatry, and athletics. 

References
Ø  Anshel, M. H. (1991) Causes for drug use in sport: A survey of intercollegiate

ANALYSIS FILM MERAH PUTIH : HATI MERDEKA


1.       SINOPSIS FILM “ MERAH PUTIH : HATI MERDEKA “
Ø  Judul               : MERAH PUTIH : HATI MERDEKA
Ø  Genre               : action
Ø  Sutradara         : Yadi Sugandi,Connor Allyn
Ø  Skenario          : Connor Allyn & Rob Allyn
Ø  Pemain          : Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, Lukman Sardi, Rahayu Saraswati, T. Rifnu Wikana, Ranggani Puspandya, Asri Nurdin,Nugie
Ø  Tanggal rilis     : 9 Juni 2011
Ø  Durasi              : 100 menit


Pada tahun 1949 itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral Van Mook mengepung seluruh wilayah Indonesia sehingga tentara Indonesia terjebak di Yogyakarta. Lebih parah lagi, pasukan Belanda membentuk pasukan khusus di bawah pimpinan Kolonel Raymer yang bertugas menebar teror bagi rakyat Indonesia agar tidak berani lagi memperjuangkan kemerdekaannya. Untuk melemahkan semangat juang rakyat Indonesia, Pasukan Kolonel Raymer tidak hanya membunuh tentara Indonesia tetapi juga membantai dan menyiksa rakyat sipil dengan sadisnya. Kolonel Raymer inilah yang dulu juga membunuh kedua orang tua Tomas. Untuk menghentikan kekejaman pasukan Kolonel Raymer, Amir, Tomas, Dayan, Marius dan Senja sebagai pasukan elite Jendral Sudirman ditugaskan oleh Mayor atasan mereka untuk membunuh Kolonel Raymer yang berada di Bali. Sayang sekali, komandan tim yaitu Kapten Amir menolak tugas itu karena merasa membunuh adalah pekerjaan seorang pembunuh bukan tentara pejuang kemerdekaan sehingga akhirnya Kapten Amir mengundurkan diri sebagai tentara dan kembali menjadi guru Sekolah Dasar. Walaupun begitu, misi tetap dilanjutkan dan Tomas menggantikan tugas Amir sebagai Kapten. Karena Tomas, Dayan, Marius dan Senja berada di Yogyakarta, mereka berangkat ke Bali dengan menyamar sebagai nelayan dan naik kapal yang diberi nama “Hati Merdeka”. Bagaimana dengan Amir? Ternyata setelah teman-teman satu timnya berangkat ke Bali, jiwa tentara Amir bangkit kembali dan berangkat menyusul ke Bali dengan menumpang kapal nelayan.
Tetapi ketika hampir sampai di Bali,  ternyata para nelayan yang menjadi awak kapal Hati Merdeka telah membelot ke pihak Belanda karena Belanda membayar lebih mahal. Nelayan-nelayan pembelot itu menyerang Tomas dan kawan-kawan dengan pedang. Tidak hanya itu, karena informasi dari nelayan-nelayan pembelot, datang kapal perang Belanda yang memerintahkan Tomas dan kawan-kawan untuk menyerah atau Kapal Hati Merdeka ditembak hingga tenggelam. Dengan keahlian beladirinya, Tomas dan kawan-kawan bisa mengalahkan nelayan-nelayan pembelot tetapi kapal Hati Merdeka akhirnya terkena tembakan meriam kapal perang Belanda hingga tenggelam, untung Tomas dan kawan-kawan sempat meloncat ke laut. Dengan berenang diantara tembak an-tembakan kapal perang Belanda, akhirnya Tomas dan kawan-kawan bisa sampai di Bali dan lolos dari kejaran tentara Belanda. Sesampainya di Bali, Tomas dan kawan-kawan berhasil menolong seorang gadis Bali bernama Dayu yang akan diperkosa anak-anak buah Kolonel Raymer, tetapi keberhasilan mereka mengalahkan para anak buah Kolonel Raymer itu harus dibayar mahal karena Marius terluka parah dan hampir tewas terkena tusukan bayonet anak buah Kolonel Raymer. Untung Tomas dan kawan-kawan bertemu dengan para tentara Bali yang bergerilya di sebuah gua dibawah pimpinan Letnan Kolonel Wayan Suta. Terjadi kejutan karena ketika Tomas dan kawan-kawan sampai di gua tempat markas pasukan Letkol Wayan Suta, Amir sudah ada di gua itu. Ternyata dengan menumpang kapal nelayan, Amir bisa lolos dari patroli kapal perang Belanda dan sampai lebih dulu. Sebagai Letnan Kolonel, Letkol Wayan Suta punya wewenang untuk menerima kembali Amir sebagai Kapten angkatan Darat tetapi komandan tim tetap dipegang oleh Kapten Tomas sampai misi pembunuhan kolonel Raymer selesai. Berkat perawatan dari para petugas medis Letkol Wayan Suta, Marius bisa sembuh dari luka parahnya dan bisa bertempur lagi. Tidak hanya itu, Amir dan kawan-kawan berhasil melatih para pria Bali yang bukan tentara untuk bisa berperang sehingga bisa menambah kekuatan pasukan. Sebagai langkah awal, pasukan Kolonel Raymer dijebak dengan cara mengirim Dayu ke markas Kolonel Raymer dan mengatakan bahwa para pejuang Bali yang disebut pasukan Belanda sebagai pemberontak itu bersembunyi di sebuah Pura.  
Keesokan harinya Pasukan Kolonel Raymer langsung menyerbu Pura yang dikiranya sebagai tempat persembunyian para pejuang Bali. Begitu sampai di Pura, pasukan Kolonel Raymer langsung dikepung dan diserbu oleh Amir, Tomas, Marius, Dayan dan pasukan Letkol Wayan Suta. Tapi ternyata Kolonel Raymer tidaklah bodoh. Truk yang berhasil dihancurkan oleh pasukan Letkol Wayan Suta ternyata hanya berisi boneka yang memakai seragam tentara Belanda, setelah itu datang pasukan Kolonel Raymer yang sebenarnya dan ganti mengepung pasukan Indonesia. Letkol Wayan Suta dan pasukannya kewalahan karena Kolonel Raymer mengerahkan alat perang yang tidak dipunyai pasukan Indonesia yaitu tank dan senjata penyembur api, banyak pejuang Bali yang gugur bahkan akhirnya Letkol Wayan Suta sendiri gugur. Tetapi Amir, Tomas, Dayan, Marius dan Senja dan beberapa pejuang Bali yang masih tersisa tetap melawan dengan gigih dan datang hal yang menggembirakan yaitu datang bantuan dari rakyat Bali bukan tentara yang dilatih perang oleh Amir dan kawan-kawan.
Setelah melalui pertempuran yang seru, akhirnya pasukan Kolonel Raymer kalah dan Kolonel Raymer bisa ditangkap hidup-hidup. Disini Kapten Tomas menampilkan jiwa besarnya, walaupun dulu kedua orang tuanya dibunuh oleh Kolonel Raymer, Tomas tidak dendam dan ganti membunuh Kolonel Raymer. Biar nanti pengadilan internasional yang akan mengadili Kolonel Raymer sebagai penjahat perang yang telah membantai banyak rakyat sipil.
2.       NILAI YANG TERKANDUNG DALAM FILM “MERAH PUTIH : HATI MERDEKA”
Nilai/makna yang terkandung dari film merah putih adalah jiwa nasionalisme para pejuang kita di masa itu.dengan alat yang seadanya mereka dapat mengusir para penjajah,hanya bermodalkan kebranian dan bambu runcing mereka merebut kemerdekaan RI dari tangan belanda

3.       PESAN YANG DAPAT KITA AMBIL DARI FILM “MERAH PUTIH : HATI MERDEKA”
1.       Janganlah mengecewakan orang lain disaat ia memberikanmu sebuah kepercayaan.
2.       Janganlah terpancing oleh nafsu, kita harus bisa menahan amarah dan emosi.
3.       Gunakan emosi dan nafsu kepada hal yang lebih baik
4.       Selalu siap tempur dalam kondisi dan keadaan apapun.
5.       Taatlah beribadah sesuai agama yang telah kita yakini.
6.       Pengucut dan penghianatan adalah awal dari kemunduran.
7.       Pikiran, ucapan, hati, dan tekad yang kuat harus dimiliki oleh seorang pemimpin.


Wednesday, October 17, 2018

contoh CARA pembuatan laporan penelitian kelas dari INTRODUCTION, LITERATURE REVIEW, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN METHODS


A.    INTRODUCTION
a.       Background
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan inti dari proses pendidikan dimana terjadi interaksi antara dosen dengan mahasiswa. Didalam proses pembelajaran dosen memiliki peran yang sangat penting demi tercapai pendidikan yang optimal. Keterampilan mengelola kelas merupakan kemampuan seorang dosen dalam mewujudkan dan mempertahankan suasana belajar mengajar yang optimal. Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan seorang dosen untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan, menyenangkan mahasiswa dan penciptaan disiplin belajar secara sehat. Mengelola kelas meliputi mengatur tata ruang kelas untuk pembelajaran dan menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif. Dalam kaitan ini sedikitnya terdapat tujuh hal yang harus diperhatikan yaitu ruang belajar, pengaturan sarana belajar, susunan tempat duduk, penerangan, suhu, pemanasan sebelum masuk kemateri yang akan dipelajari (pembentukan dan pengembangan kompetensi).
Tugas utama seorang dosen adalah menciptakan suasana belajar yang PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) sehingga dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. Keberhasilan pengajaran dalam arti tercapainya tujuan-tujuan pengajaran, sangat tergantung kepada kemampuan kelas, kelas yang dapat menciptakan situasi untuk memungkinkan anak didik dapat belajar dengan baik merupakan titik awal keberhasilan pengajaran. mahasiswa dapat belajar dengan baik dalam suasana yang wajar tanpa tekanan dan dalam kondisi yang merangsang untuk belajar dan untuk menciptakan suasana yang dapat menimbulkan gairah belajar, efektivitas pembelajaran dan yang lebih memungkinkan dosen memberikan bimbingan dan bantuan terhadap mahasiswa dalam belajar, maka diperlukan pengelolaan kelas yang memadai.
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar bukan hanya ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai bahan pelajaran, tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuannya mengelola kelas. Hasil hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tujuh indikator yang menunjukan lemahnya kinerja dosen dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar. Salah satunya adalah kurangnya kemahiran dosen dalam mengelola kelas disamping rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian tindakan kelas, rendahnya motivasi berprestasi, kurang disiplin, rendahnya komitmen profesi dan rendahnya kemampuan manajemen waktu.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat di simpulkan bahwa perlu untuk menerapkan pembelajaran aktif untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Dalam pembelajaran aktif terdapat beberapa teknik, salah satu upaya untuk mengatasi beberapa permasalahan diatas adalah pembelajaran aktif teknik “Everyone Is a Teacher Here”. Pada teknik “Everyone Is a Teacher Here” mahasiswa akan belajar secara mandiri dengan mempelajari materi, menjawab pertanyaan dan menjelaskan jawaban kepada mahasiswa lain sepertin halnya guru. Peran dosen hanya sebagai fasilitator sementara mahasiswa dituntut untuk lebih aktif sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna.
b.      Problem Statement
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas oleh peneliti dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.      Bagaimana cara meningkatkan motivasi belajar mahasiswa melalui penerapan pembelajaran aktif teknik Everyone Is a Teacher Here pada mata kuliah Psikologi Pendidikan di IAIN Salatiga?
2.      Apakah terdapat peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan menerapakan model pembelajaran kooperatif tipe Everyone is teacher here pada mata kuliah Psikologi Pendidikan?
B.       Literature Review
Untuk menghindari salah pengertian mengenai makna istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa definisi operasional sebagai berikut:
1.      Model pembelajaran kooperatif menurut Anita Lie (2000) adalah istilah pembelajaran gotong royong, yaitu system pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas terstruktur (isjoni, 2009: 16). Model pembelajaran dapat didefinisikan pula sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. (Suprijono, 2010: 46). Dari beberapa jenis pembelajaran kooperatif ada yang disebut dengan EITH atau Everone is teacher here (semua orang dapat menjadi seorang guru). Strategi ini diterapkan untuk memandang mahasiswa yang sudah memiliki pengetahuan tentang sebuah topik yang akan dipelajari walaupun kadarnya berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk menggali pengetahuan atau kemampuan siswa, guru dapat meminta siswa menuliskan pertanyaan tentang topik yang akan dipelajari diatas kertas untuk kemudian pertanyaan diacak untuk dijawab temannya sendiri. (Marno & Idris, 2008:152)
2.      Hasil belajar siswa adalah pengetahuan siswa yang diperoleh setelah melakukan proses belajar yang diukur dengan menggunakan alat ukur tes.
 Kerangka Pemikiran
1.      Pengertian Model Pembelajaran Coopertive Learning
Perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional seperti kompetitif kini mulai ditinggalkan berganti dengan model yang lebih modern. Salah satu model pembelajaran yang kini banyak mendapat respon adalah model pembelajaran kooperatif atau cooperative learning, karena model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman.
            Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat oprasional dikelas. (Suprijono, 2010: 45-46)
Arends berpendapat bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. (Suprijono, 2010: 46)
Secara sederhana Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikansecara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Melalui model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berfikir, dan mengekspresikan ide. Model pembelajaran juga dapat berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar. Dengan menggunakan model cooperative diharapkan hasil belajar yang dicapai pun lebih baik. Karena dalam pelaksanaannya peserta didik bertanggung jawab atas belajar mereka sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan pada mereka (Suprijono, 2010: 54). Penggunaan model pembelajaran yang berbeda dalam setiap proses pembelajaran termasuk salah satu strategi guru dalam pencapaian tujuan pendidikan. 
Tujuan yang paling penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan, konsep, kemampuan dan pemahaman yang mereka butuhkan (Slavin, 2010: 33). Roger dan David Jonhson mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bias dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, terdapat lima unsure dalam proses pembelajaran yang harus diterapkan:
a.       Positive interdependence (saling ketergantungan positif)
b.      Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
c.       Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
d.      Nterpersonal skill (komunikasi antar anggota)
e.       Group processing (pemrosesan kelompok)
Model pembelajaran ini memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Mahasiswa bukan lagi objek pembelajaran, namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
2.      Pengertian hasil belajar kognitif
Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan pertimbangan tertentu. Hasil yang diperoleh dari penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar.
Tujuan instruksional pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri mahasiswa. Oleh sebab itu, dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku mahasiswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan mengetahui tercapai tidaknya tujuan intruksional, dapat diambil tindakan perbaikan pengajaran dan perbaikan siswa yang bersangkutan. (Sudjana, 2009:2)
Fungsi dari penilaian itu sendiri bermanfaat ganda, yakni bagi guru juga bagi mahasiswanya. Penilaian ini terbagi menjadi dua, penilaian jangka pendek atau penilaian formatif yang berfungsi bagi perbaikan proses belajar mengajarkannya. Sedangkan penilaian sumatif, atau penilaian jangka panjang adalah dilakukan untuk mengetahui keberhasilan mahasiswa dalam menguasai tujuan instruksional atau tujuan kurikuler.
Salah satu bentuk alat ukur nya adalah dengan melakukan evaluasi tes atau non tes. Evaluasi itu sendiri dapat diartikan penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. (Syah, 2003: 195)
Kemudian istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, yang berarti mengetahui. Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Menurut Chaplin (1972) ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa. (Syah, 2003: 22)
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor yang datang dari dalam siswa itu sendiri dan faktor dari luar siswa itu sendiri/faktor lingkungan. Meski pengaruh dari dalam siswa merupakan faktor yang dianggap lebih mempengaruhi, namun ternyata hasil belajar juga sangat bergantung pada lingkungannya itu sendiri. Salah satunya adalah kualitas pengajarannya.
Yang dimaksud dengan kualitas pengajaran adalah tinggi rendahnya atau efektif dan tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran. Sehingga dengan penggunaan model pembelajaran yang berbeda disetiap pelaksanannya siswa terangsang untuk belajar lebih giat lagi yang dampaknya akan positif terhadap prestasi atau hasil belajarnya sendiri.
Ada enam hal yang dapat diukur dalam pencapaian hasil belajar ranah kognitif, yakni:
1.    Hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge)
2.    Hasil belajar pemahaman (comprehension)
3.    Hasil belajar penerapan (aplikasi)
4.    Hasil belajar analisis
5.    Hasi belajar sintesis
6.    Hasil belajar evaluasi.
C.      Methods
Metodologi penelitian
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Menentukan jenis data
            Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif digunakan untuk mengetahui gambaran proses terlaksaannya pembelajaran kooperatif tipe everyone is teacher here yang telah diperoleh dari lembar observasi mahasiswa. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka-angka bilangan. Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe everyone is teacher here dan tes setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe everyone is teacher here yang diasumsikan dapat terjadi peningkatan hasil belajar mahasiswa dikelas.
2.      Menentukan sumber data
a.       Lokasi penelitian
      Lokasi penelitian kali ini dilaksanakan di IAIN Salatiga yang terletak di Jl. Lingkar Salatiga KM.2 kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Telepon (0298) 6031364
b.      Populasi
      Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di matakuliah Psikologi Pendidikan Semester 4 di IAIN Salatiga tahun ajaran 2018/2019 yang terdiri dari satu kelas dengan jumlah 35 siswa. Adapun jumlah laki-laki terdiri dari 8 dan jumlah perempuan 27 orang
c.       Sampel
      Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan total sampling (sampel jenuh), diambil dari seluruh mahasiswa kelas Psikologi Pendidikan yang terdiri dari 1 kelas.
3.      Metode dan desain penelitian
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Yaitu merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang disengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. (Arikunto, dkk, 2008: 3)
            Kelas yang menjadi bahan penelitian adalah kelas yang menjadi pegangan peneliti sendiri, serta rencana aktivitas pembelajaran dibuat dan dilaksanakan oleh peneliti sendiri dan dievaluasi sendiri, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menelaah kemampuan mahasiswa. Adapun kegiatan dalam penelitian ini mengacu pada model siklus yang terdapat dalam buku Suharsimi arikunto (2009: 16)
1.      Observasi
Yakni pengamatan tingkah laku pada satu situasi tertentu. Observasi biasanya dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung, dan observasi tidak langsung. Kedua jenis observasi ini dapat dilaksanakan secara sistematik, yakni dengan menggunakan pedoman observasi dan bisa pula tidak. (Sudjana, 2009: 114)
Observasi digunakan untuk mengamati kegiatan guru dan siswa selama proses kegiatan belajar mengajar pendidikan agama islam dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe EITH. Aspek pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar yang dijadikan sebagai patokan observasi aktifitas siswa meliputi:
                                     i.       Memperhatikan penjelasan dosen/mahasiswa
                                   ii.      Keseriusan mahasiswa mengambil giliran dan berbagi tugas.
                                 iii.       Keseriusan mahasiswa dalam bertanya atau berdiskusi antar mahasiswa dan dosen.
                                 iv.       Keseriusan mahasiswa dalam bertanya atau berdiskusi antar mahasiswa.
                                    v.      Ketersediaan mahasiswa dalam membacakan dan menjawab pertanyaan
References
Dale H. Schunk. 2004. Learning theory “an education perspective”, North Carolina
Ferdonan. 2011.  jurnal penelitian universitas negeri malang.
Jhon W, Creswell, 2014. Reseach design. United states of america
Kumaravadivelu, B. 2006, understanding language teaching, London

Silverman, david, fourth edition 2014, doing qualitative reseach, london